Jejak Pemalsuan Identitas dan Sengketa Tanah di Sumatera Utara: Polda Sumut Dalami Dugaan KTP Ganda Anggota DPR RI Sihar Sitorus

 


Kota Medan: (MHP.COM) Sumatera Utara

Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah Sumatera Utara membuka lembaran baru, dalam upaya penyelidikan kasus yang berakar lebih dari satu dekade lalu. Dikesempatan ruang wawancara, di markas Ditreskrimsus Polda Sumut, Jalan Sisingamangaraja Km. 10,5 Medan, Legiman Pranata, seorang karyawan swasta, memberikan keterangan penting yang dapat menggiring penyelidikan ke ranah yang lebih dalam. "dugaan pemalsuan data dan identitas kependudukan ganda oleh seorang tokoh nasional, Sihar Pangihutan Hamonangan Sitorus—anggota DPR RI aktif".

Wawancara pada 10 Februari 2025 itu, dipimpin oleh KOMPOL Damos C. Aritonang, S.I.K., M.H., dan dibantu AIPTU Sunardi Sanjaya, berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: SP. Lidik/…/I/2025/Ditreskrimsus tertanggal 5 Januari 2025. 

Penyelidikan ini, merupakan respons atas laporan Legiman tertanggal 25 November 2024 yang menuding Sihar Sitorus memiliki dua identitas kependudukan berbeda, dengan NIK dan tanggal lahir yang tidak sama.


*Dua Identitas, Satu Sosok?*

Dalam keterangannya, Legiman mengungkap adanya dua identitas KTP yang dimiliki oleh orang yang diyakininya sebagai satu individu:

1. Sihar Sitorus, lahir di Rantau Prapat, 12 Juli 1966, dengan NIK: 1271171307660002 dan ;

2. Sihar P.H. Sitorus, lahir 12 Juli 1968, dengan NIK: 3173021207680004.

Perbedaan dua identitas itu, menjadi pintu masuk bagi Legiman untuk menelusuri lebih jauh, terutama karena kedua nama tersebut muncul dalam berbagai dokumen hukum dan administratif yang terkait dengan sengketa kepemilikan lahan.

“Nama Sihar Sitorus digunakan dalam sertifikat hak milik (SHM) Nomor 477, terbit tahun 2007. Sementara, nama Sihar Pangihutan Hamonangan Sitorus digunakan dalam akta sewa menyewa tahun 2012,” ungkap Legiman.

Kasus ini bermula, ketika Legiman sang pemilik sah SHM No. 655 atas tanah di kawasan Medan–Binjai Km 16, Desa Sei Semayang, menemukan adanya plang klaim dari pihak lain—dengan mengatasnamakan Sihar Sitorus—di atas tanah yang ia beli melalui akta jual beli sejak tahun 2000. 

Sejak saat itu, sengketa pun meruncing dan mengalir ke berbagai lembaga: pengadilan, BPN, bahkan Komisi IX DPR RI juga Badan Kehormatan Dewan (BKD).

Legiman memaparkan, bahwa pada 2012, ia dilaporkan oleh satpam PT Torganda (perusahaan milik keluarga Sitorus) terkait lahan tersebut. Ia kemudian menunjukkan bahwa lahan yang ia kuasai telah bersertifikat sah atas namanya. Namun, pada 2013, muncul plang yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik “DR. SIHAR PH SITORUS” berdasarkan SHM No. 477.

*Keterangan Disdukcapil dan Langkah Hukum*

Seiring perjalanan waktu, yang paling menarik adalah; dua surat resmi dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Medan, di tahun 2021 yang menyatakan bahwa; nama “Sihar Sitorus” dan “Sihar P.H. Sitorus” adalah satu orang yang sama.

Namun pertanyaannya kemudian, bergeser: mengapa satu orang bisa memiliki dua NIK, dua tempat dan tanggal lahir, serta muncul dalam dua dokumen legal yang berbeda?

“Saya tidak mengerti apa tujuan Sihar Sitorus melakukan perubahan identitas itu. Tapi yang saya tahu, kedua nama itu digunakan untuk mengklaim tanah saya,” beber Legiman lagi.

Legiman pun akhirnya, menyerahkan sejumlah bukti kepada penyidik, termasuk:

-  Salinan Putusan PTUN No. 98/G/2017/PTUN-MDN,

-  Surat Keterangan Disdukcapil Medan,

-  Surat Kuasa Sihar kepada Iwan Japerson Sitorus,

-  Sertifikat SHM No. 477,

-  Undangan klarifikasi dari BPN Deli Serdang.

*Potensi Pelanggaran UU Administrasi Kependudukan*

Penyidik menyelidiki kasus ini dengan merujuk pada UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, yang secara tegas melarang seseorang memiliki lebih dari satu NIK atau memalsukan data pribadi dalam dokumen kependudukan.

Jika terbukti, perbuatan tersebut bisa dijerat dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 94 dan Pasal 96A UU Adminduk, dengan ancaman hukuman penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp75 juta.

*Akankah Proses Ini Sampai Pengadilan?*

Menutup keterangannya, Legiman berharap sangat besar; agar kiranya kepolisian sungguh-sungguh menindaklanjuti laporannya, yang menurutnya bukan semata tentang sengketa tanah, melainkan juga tentang keadilan dalam sistem administrasi hukum di Indonesia.

“Saya hanya rakyat biasa. Tapi saya tidak ingin diam saat kebenaran dibengkokkan dengan kekuasaan,” ujarnya lirih.

Kini, bola panas berada di tangan aparat penegak hukum. Apakah dua identitas satu tokoh ini hanya kelalaian administratif, ataukah sebuah skenario sistematis untuk melanggengkan kepentingan tertentu di atas hak orang lain?! 

Hp.R.s.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال